Apakah kita benar-benar produktif, atau hanya kecanduan sibuk?
Di era digital ini, produktivitas dipuja layaknya dewa. Setiap detik harus “bermanfaat”. Bangun pagi, daftar to-do list, belajar hal baru, kerja sambil mendengarkan podcast self-development. Terlihat keren? Mungkin. Tapi sebenarnya, banyak dari kita telah menjadi budak dari sesuatu yang kita anggap sebagai kebajikan: produktif tanpa henti.
Sindrom “Harus Sibuk”
Kalau kamu merasa bersalah saat istirahat atau merasa gagal saat tidak melakukan apapun dalam sehari — kamu mungkin sedang mengalami kecanduan produktivitas. Ini bukan hal sepele. Banyak studi psikologi menunjukkan bahwa dorongan untuk terus “berbuat sesuatu” dapat merusak mental dan menciptakan tekanan yang konstan.
Produktivitas yang Tidak Sehat
Produktivitas itu bagus. Tapi jika kamu terus bekerja tanpa jeda, tidur kurang, dan merasa tidak berharga tanpa hasil harian, maka itu adalah bentuk penyiksaan diri yang dibungkus dengan kata “maju”. Kita perlu bedakan: antara kerja keras dan kerja cerdas. Antara sibuk dan bermakna.
Apakah Kamu Masih Manusia?
Manusia bukan mesin. Kita butuh waktu untuk diam, merasa, dan hidup. Bukan sekadar melakukan. Tapi hari ini, terlalu banyak orang merasa rendah diri saat tidak posting hasil kerja atau update “kesibukan”. Seolah-olah, eksistensi hanya sah jika disertai pencapaian.
Mengambil Kembali Kendali
Mungkin sudah saatnya kita mengembalikan kendali dari tangan algoritma, tren hustle culture, dan tekanan sosial. Istirahat bukanlah kemalasan. Hidup itu bukan proyek. Hidup adalah pengalaman.
"Kita bukan dilahirkan untuk jadi mesin produktif. Kita dilahirkan untuk hidup." – Penulis Anonim
Jangan takut untuk lambat. Tak perlu selalu “hebat”. Karena nilai hidup bukan diukur dari seberapa banyak kita lakukan — tapi seberapa dalam kita merasakan.
Bagikan opini kamu di kolom komentar. Apakah kamu juga pernah merasa jadi 'korban produktivitas'?
